Papua Kekurangan 5000 Guru, TNI NonOrganik Terus Didroping

Sabtu, Agustus 04, 2007

Di Papua terdapat 2.400 sekolah swasta dan 1.700 sekolah negeri (SD, SLTP dan SLTA). Papua kekurangan sekitar 5000 guru negeri maupun swasta. Papua membutuhkan 3000 guru SD, 1000 guru SLTP dan 1000 guru SLTA, (baca: Kompas, 18 Januari 2006). Sementara itu, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Muladi meminta pemerintah tidak ragu-ragu menambah jumlah pasukan TNI ke wilayah Papua (baca: Kompas, Kamis, 20 April 2006). Pada hal, “SIANG itu, Kamis 24 November 2005 lalu, rakyat yang berada di APO dan pusat kota Jayapura tercengang, “Booo..., ada apa lagi,” ucapkan warga Papua menyaksikan dua kapal TNI bernomor lambung 503 dan 514 yang berlabuh di pelabuhan TNI AL medrop 2.000-an TNI non organik. Sepanjang 200 meter di Jalan Raya Ahmad Yani, mulai dari depan Pelabuhan TNI AL hingga ke Kantor Pos Jayapura, berjejer 20 truk yang siap mengangkut,”(baca: Tabloid Suara Perempuan Papua, Edisi, 29-11-2005 menulis demikian).

Tanggal 21 November 2005, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Masyarakat Adat, dalam laporannya, seperti yang dilangsir Tabloid Suara Perempuan Papua, disebutkan, di Distrik Namblong, 27 Oktober lalu (2005), Danramil menjelaskan kepada masyarakat tentang rencana kehadiran anggota TNI yang akan ditempatkan di distrik itu untuk membantu masyarakat. Pada tanggal yang sama juga, Danramil Depapre menjelaskan hal itu kepada masyarakat Kampung Wambena. Bahkan di Kampung ini, Danramil sudah menyebutkan, bahwa ada 15 anggota yang akan ditempatkan di Kampung Wambena. Jumlah pasukan yang akan ditempatkan ditiap kampung juga diungkapkan Danramil Demta, Letnan Dua (Letda) Triyono. Dia mengatakan, di kampung Demta Kota, Ambora, Yaugapsa akan ditempatkan pasukan TNI. Katanya, pasukan itu akan tinggal di rumah-rumah penduduk.

Suara Perempuan Papua melalui www/http:parasindonesia.com menulis, sosialisasi kehadiran pasukan TNI itu berlangsung di Distrik Nimbokrang, Depapre, Kaure dan di seluruh distrik di Papua, termasuk di 195 desa atau kampung yang ada di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Sarmi, Jayapura, dan Kabupaten Keerom.
“Katakan saja, kalau pernyataan para Danramil, bahwa setiap kampung ada 15 anggota, maka diperkirakan jumlah pasukan yang didrop di Kabupaten Sarmi, Jayapura dan Keerom sekitar antara 2.925 hingga 3.500 orang,” tulis Suara Perempuan Papua. Nah, kira-kira berapa jumlah keseluruhan tentara/pasukan non organik di Papua? Tiga kabupaten di Jayapura sudah mencapai 3.500-an. Sementara, dengan adanya pemekaran wilayah, kini Papua memiliki lebih dari 17 kabupaten. Andai tiap kabupaten nasifnya sama, berapa keseluruhan pasukan non organik yang dikirim ke Papua ya. Entalah.

Pendroping pasukan non organik di tanah Papua jelas untuk membantu rakyat. Sementara rakyat mempunyai pengalaman masa lalu yang pahit. Pengalaman itu hingga saat ini masih mereka alami. “…..kehadiran pasukan itu ditolak lantaran banyaknya tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI pada masa lalu,” baca Suara perempuan Papua. Kini Papua kekurangan sekitar 5000 guru baik negeri maupun swasta, (baca: Kompas, 18 Januari 2006). “Walau begitu, TNI AD akan membentuk satu divisi Kostrad di Papua,” tulis Suara Perempuan Papua.

Oleh Longginus Pekey*)

Seorang guru, pak Ponidi namanya saat ini tinggal di Sleman, Yogyakarta. Dia pernah tugas bersama kakaknya di Papua sebagai guru. Dia menceritakan banyak hal. Dari pembicaraan mengenai pengalaman itu ada tiga hal yang saya petik. Pertama, kondisi pendidikan, katanya, memprihatinkan. Kedua, mengenai guru dalam kacamata orang Papua Barat. Ketiga, rasa keprihatinan terhadap masyarakat yang mengalami kekerasan oleh militer saat itu. Pak guru Poni sempat mempertanyakan mengapa inovasi meiliter lebih didepankan untuk menjadi pengemban hegemoni kekuasaan Indonesia di Papua Barat. Bukankah pendidikan dan guru bisa menjawab, bila punya kepentingan politik mempertahankan integritas bangsa.

Di Papua sosok guru sangat dikagumi terutama. Menyangkut kehidupannya, seperti tata krama yang patut di ancungi jempol dan menjadi panutan. Guru dianggap sebagai payung “tut wuri handayani”. Guru sebagai orang yang berpengetahuan luas dan punya wawasan akan perubahan. Nilai positif itu, punya tawaran tinggi untuk mejadi guru. Orang tua (keluarga) turut senang bila anaknya mejadi guru, bahkan akan menjadi bua bibir di masyarakat. Secara langsung atau tidak mengangkat nama baik keluarga.
Dalam konteks itu, ada rasa kebanggaan terhadap kehadiran gereja, karena memberi intensi bagi pembangunan manusia, atau meminjan istilah Driyarkara, SJ sebagai proses pemanusiaan manusia muda. Hal itu telah dilakukan dengan pendirian sekolah katolik dan protestan pada tahun 1855 di Manukuari. Bertolak dari kebutuhan masyarakat, sekolah-sekolah itu mengajarkan tetang menulis, membaca, berhitung, ditambah dengan keterampilan seperti, belajar menjahit, beternak , bertani juga mengurusi rumah tangga. Harus diakui ada makna politis yaitu kristenisasi di Papua Barat (Eropanisasi). Namun, ada makna di balik itu, telah menjadi catatan sejarah bahwa sumbangan besar telah turut dalam peradaban Papua Barat.

Berganti zaman, kekuasaan beganti, kebijakan pun berganti. pada tahun 1966 Soeharta tampil sebagai the man of the power hingga 1998. Kekuasaan otoritariannya menghendaki lain tetang pendidikan di Papua Barat. Pada tahun 1980-an mengintrusikan pendirian sekolah Inpres. Sebenarnya inpres itu sangat bertetangan dengan kebutuhan masyarakat. Aspek ilmu pengetahuan lebih diporsir, sesuai kebutuhan politik sebagai pengembang hegemoni kekuasana Jakarta. Aspek kultur sangt berbeda. Pembelajaran yang menghafal Pancasila, UUD 1945, bendera merah putih, gambar presiden Indonesia dan sejarah Indonesia (Jawa sentris).

Mata pelajaran utama di Papua sampai saat dalam kerangka nasionalisme. Seperti yang tersurat dalam buku pelajaran yang diajarkan oleh guru di sekolah. Sampai saat ini, anak-anak di Papua masih menyodorkan bacaan yang asing dari kehidupannya, misalnya pantai kute, candi Borobudur, Prambanan, ini Budi, ini Rini, Iwan dan sebagainya. Selain muatan lokal, seperti tarian tradisional, bahasa daerah, permainan tradisional tidak medapat perhatian penuh apalagi tetang sejarah daerahnya. Bahkan pada tahun 1961 sampai tahun 1980-an pemerintah melarang publikasi tetang unsur-usur kebudayaan yang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme etnis Papua Barat. Ketika kelompok musik mambesak dari mahasiswa Universitas Cendrawasi (Uncen) Jurusan Antropologi mengoleksi dan merekam berbagai lagu daerah dan tarian dari berbagai suku di Papua Barat, mereka harus dikejar-kejar dengan tuduham maker.

Pemimpinya Arnol AP dibunuh aparat, kemudian mayatnya dibuang ke laut. Dengan melihat kondisi masa lalu ini, mungkin tidak salah bila mengatakan, ini satu bukti sejarah adanya usaha pelenyapan identitas lokal.

Papua Barat memberikan devisa terbesar bagi negeri ini, tetapi sangat ironis, jika Papua yang kaya dengan sumber daya alam itu, rakyatnya tidak cerdas mengelola kekayaan alam demi kelangsungan hidup. Kalau demikian, bisakah kita menerimanya bila mengatakan sebagai wujud dari kegagalan pendidikan Indonesia? Seperti, dikemukakan anggota Komisi X DPR bidang pendidikan, Cyprianus Aoer, menanggapi kondisi darurat pendidikan, khususnya masalah guru di Papua Barat. “Kondisi pendidikan di Papua memasuki tahap darurat. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan hal tersebut mencerminkan kegagalan pemerintah membangun dunia pendidikan dan mencerdaskan rakyat Indonesia, khususnya di Papua Barat. Dalam hal ini, pemerintah gagal bangun dunia pendidikan di Papua Barat. Pemerintah juga tidak memiliki terobosan baru yang bisa membawa perubahan, khususnya di bidang pendidikan di Papua yang selama ini tertinggal,“ (baca: Suara Pembaruan. 22/3/06)).

Krisi Guru
Sekolah Guru Bawahan (SGB), Sekolah Guru Olahraga (SGO) dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) sudah ditutup sejak tahun 1980-an. Sejak itupula Papua Bara mengalami kekuranga guru. Saat ini guru tamatan sekolah tersebut sudah berkurang, karena mereka tua dan tidak bisa mengajar. Sedangkan, generasi muda Papua kurang berminat menjadi guru. Ada FKIP dan PGSD di Universitas Cenderawasi (Uncen), lagi pula letaknya di Jayapura (ibukota provinsi) yang jauh dari kabupaten lain. Itupun tidak didukung dengan fasilitas dan dosen yang memadai (baca: Papua).

Sosok guru yang dulu sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kini suram, guru dipandang sebelah mata dan terjadi degradasi. Apati muncul, karena ada kacamata negatif tetang guru. Bisa jadi benar, karena upah gajinya tidak cukup untuk menjamin hari tua. Menjadi guru sebagai “pilihan” terakhir daripada mengangur. Bisa dibilang ini permasalahan mendasar yang sedang dihadapi negara ini. Terkait dengan itu, guru di kota besar pun saat ini memiliki masalah yang kompleks, bukan hanya masalah kesejahteraan, tetapi juga masalah profesionalitas yang kurang terperhatikan pemerintah maupun pengelola universitas dan sekolah.

Krisis guru berdampak pada kualitas pendidikan di negeri ini. Hal ini terjadi karena wajah sekolah yang lebih berpatokan pada ilmu pengetahuna, kurang menggali afeksi dan psikomotori, artinya kurang terciptanya pembelajaran yang holistik.

Mengapa Harus Militer?
Bukankah pendidikan adalah solusi? Mengapa bukan guru yang dikirim banyak-banyak ke Papua Barat? Pertanyaan ini tentu bermakna emisional. Tetapi, barangkali perlu dipahami tetang kultur Papua Barat yang dalam merespon sesuatu cenderung berbicara lansung menunjuk sasaran. Alias tidak nego-nego. Jujur saja, pertanyaan itu tidak mengandung benci dan marah (emosi). Sama dengan manusai lainnya orang Papua Barat punya jiwa baik dan halus. Sangat keliru bila dinilai dari seramnya raut muka. Perlu ada pemahaman bahwa gambaran perjuangan melawan rimba raya, kencangnya arus sungai dan medan yang berat di Papua Barat itu tampak pada raut muka manusia Papua Barat.

Bangsa beradap seperti Indonesia tentu memahami, bahwa proses memanusiakan manusia, satu-satunya adalah pendidikan. Peran penting itu diembangi guru. dan itu sudah terbukti dalam sejarah umat manusia, bahwa pendidikan punya peran besar dalam membangun suatu perdaban. Alasan itu melatarbelangi pelaksanana pendidikan di Papua Barat. Tetapi, menjadi pertanyaan mengapa harus militer yang dikirim banyak-banyak. Kata mau melayani rakyat. Tetapi, kalau kita bertanya apa yang dilakukan militer di Papua kepada seorang anak kecil di pedalaman Papua, kita akan mendapatkan jawabanya sangat kontra. Dengan polos anak itu bisa mengatakan, “Aparat militer itukan untuk membunuh orang Papua to.” Jawaban itu muncul karena memiliki akar histories yang menyimpan beban psikologis dan traumatis dalam diri generasi anak itu. Memang ini gambaran umum hati kecil orang Papua tentang aparat militer.

Pemahaman umum itu terkait dengan stigma separatis dan maker (GPK) yang telah dibangun oleh pemerintah Indonesia yang akhirnya ribuan masyarakat Papua Barat menjadi korban. Banyak anak, termasuk saya kehilangan orang tua, paman. Karena orang tua dan saudara dibunuh dengan sadis oleh aparat militer waktu Papua Barat menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) sekitar tahun 1963 sampai 80-an, masa rezim militeristik Soeharto. Telah terjadi pemaksaan dan kekerasan lainnya kepada masyarakat yang tidak memahami dan tidak menghafalkan symbol-simbol kenegaraan. (bendera, lambang negra, lagu nasional, Undang-undang termasuk bahasa). Upaya peningkatan SDM tidak mendapat porsi. Itulah sebabnya masyarakat Papua terus terpojok. Bagi masyarakat Papua militer hadir bukan sebagai sosok guru yang diharapkan membawa perubahan hidup.

Waktu terus berlalu, globalisasi membonceng hadirnya teknologi informasi. Kemajuan itu diikuti dengan kesadaran masyarakat. Papua Barat mulai berubah wajah menjadi sedikit maju, masyarakat seperti terbangaun dari tidur. Sudah mulai ada kesadaran kalau ada pembodohan, ada kekerasan, ada penindasan secara ekonomi (kekayana alam dibawa ke Jakarta), cultural (jawanisasi) dan politik (tuduhan separatis) dan terutama perlakuan hukum yang memihak. Misalkan pada bebarapa kasus HAM berat, seperti peristiwa Abepura I, Pembunuhan terhadap pemimpin besar orang Papua, Theys Hiyo Eluay dan bebarapa yang lainnya tidak ada penyelesaian yang jelas.

Orang Kamoro, Amugme (suku di Timika), dan suku lain di pedalaman mulai menyadari. Kehadiran PT Freepot Indonesia (FI) tahun 1969 misalnya, telah merusak lingkungan, melakukan tindakan kejahatan terhadap lingkungan, roh leluhur di gunung Gresberg telah dirusaki. Selain itu FI memiliki akar historis bahwa penyebab konflik antara masyarakat dan militer adalah perpanjangan tangan negara.

Namun, entah mengapa tidak ada sulusi yang ditawarkan pemerintah untuk menyelesaikan problem-problem di Papua Barat. Semakin nampak demokrasi itu mahal bagi orang Papua Barat. Harapan akan terbukanya pintu demokrasi belum juga kunjung terbuka. Mungkin demokrasi di negeri ini harus diperjuangkan lagi, karena sampai era reformasi ini ruang dialog masih tertutup untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua Barat secara bijak. Bagaiman tidak bijak, bila militer terus dijadikan pahlawan untuk menjawab permintaan rakyat akan keadilan, kesejateraan dan kedamaian. Mengapa harus militer, masyarkat tidak punya senjata api. Sudah bisa memahami arti organisasi untuk mengorganisir diri. Dalam hal ini, masyarakat Papua mengaharapkan dialog nasional untuk penyelesaian berbagai persoalan.

Untuk menyikapi itu semua ada baiknya kita pikirkan bersama, mencari solusi bersama untuk menjawab kebutuhan masyarakat, kita harus lebih banyak belajar untuk menerima dan mendengarkan suara dan aspirasi orang lain dalam kerangka kemanusiaan yaitu saling menghormati dan menghargai sebagai ciptahan Tuhan. Pintu demokasi itu harus dibuka lebar-lebar, artinya bangsa ini harus membuka diri dan belajar mendengar serta memahami apa yang menjadi aspirasi mereka (masyarakat Papua Barat). Kalau mengakui sebagai bagian darinya, tanpa harus mengedepankan militer. Kita berharap tidak terjadi lagi peristiwa Abepura berdarah yang ketiga kalinya dengan jumlah korban lebih besar, karena akan semakin memperburuk citra bangsa ini di mata masyarakat maupun di dunia internasional yang dapat mengancam keutuhan negara ini.

*) Ketua Komunitas Pendidikan Papua

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di majalah SELANGKAH edisi 2006

2 komentar:

Raden Roro Martiningsih mengatakan...

Saya guru yang pernah dikirim ke Papua , tepatnya saya dikirim ke Jayapura. Saya telah melihat bagaimana kondisi guru di Papua, dan saya juga menyadari Papua kekurangan guru. Saya ingin sekali mendarmabaktikan hidup saya untuk menjadi guru di Papua, saya juga telah menyarankan rekan-rekan saya menjadi guru di Papua. Kendala yang dialami mengapa rekan-rekan guru saya keberatan di tempatkan di Papua mungkin karena berat dengan keluarga, atau mereka tidak suka tantangan. Saya suka sekali membaca tulisan dalam Komunitas Pendidikan Papua. Saya akan berusaha mencari jalan ke Papua.

Papua dalam Kota mengatakan...

Trimakasi tuk shere pengetahuannya.
saya pikir apa yang kak sampaikan adalah sesuatu yang tidak perna di Pahami jakarta termasuk oleh gubernur lemhanas. Mereka cendrung mengunakan kekerasan untuk mendekati papua. Padahal, suda di ketahui bersama bahwa kekerasan justru akan menghasilkan kekerasan baru.

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut