Belajar dari Prestasi Sang Mutiara Hitam, Perbaiki Pendidikan Papua

Sabtu, Agustus 04, 2007

Oleh Yermias (Ignatius) Degei*)

Siapa yang tidak bangga, bila dalam pendidikan Papua yang carut marut, Septinus George Saa dari Papua memenangi lomba bergengsi 73 negara tingkat internasional “First Step to Nobel Prize in Physics” pertengahan April tahun 2004. Ini adalah perlombaan bagi sekolah tingkat menengah seantero jagad selain Olimpiade Fisika. Kompetisi yang digagas Waldemar Gorzkowski 10 tahun silam ini mewajibkan pesertanya melakukan dan menuliskan penelitian apa saja di bidang fisika.

Hasil penelitian tersebut kemudian dikirimkan dalam bahasa Inggris ke juri Internasional di Polandia. Pada kompetisi “First Step to Nobel Prize in Physics” hasil riset Septinus George Saa tidak menuai satu bantahan pun dari para juri. Mutiara hitam, alias Oge itu menemukan cara menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan hexagon. Formula hitungan yang ia tuangkan dalam papernya “Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor” itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri.

Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Papua Barat ini menggondol emas. Paper Oge yang masuk lewat surat elektronik di hari terakhir lomba itu dinilai orisinil, kreatif, dan mudah dipahami. Tak berlebihan jika gurunya Profesor Yohanes Surya juga mengatakan formula Oge ini selayaknya disebut George Saa Formula.

Dari keberhasilan itu, sekali lagi penulis ingin menegaskan kembali bahwa orang Papua tidak bodoh. Benar orang Papua tidak bodoh. Buktinya orang Papua mampu mewakili Indonesia di dunia Internasional. Sementara itu, dalam bidang musik Micheal ‘Micky’ Jakarimilena“ikut membuktikan melalui sebuah spektakuler yang lebih dikenal dengan Indonesian Idol bahwa orang Papua juga bisa. Namun sayang, dia harus pulang. Karena publik berkata dia harus sampai di sini melalui SMS. Masalahnya, Indonesian Idol juga sama dengan pemilihan presiden langsung. Publik yang menentukan lewat SMS maupun dukungan telepon rumah. He…he… orang Papua tidak punya HP jadi, Kam untung sudah. Itu baru dua perestasi yang terlihat secara nasional dan internasional.

***
Orang Papua sama pandainya dengan orang yang berasal dari bangsa lain. Suatu kehebatan yang luar biasa dalam keadaan pendidikan Papua yang memprihatinkan adalah ternyata masih ada pelajar yang memiliki tingkat kecerdasan yang luar biasa. Masih ada pelajar yang berteriak seakan ingin mengatakan ‘kami mampu, berikan pendidikan (fasilitas) yang memadai dan sistem pendidikan yang sesuai bagi kami’.

Seandainya saja Indonesia memperhatikan pendidikan di Papua dengan sungguh-sungguh tanpa kurikulum yang sentralistik. Atau, andaikan para pejabat daerah (satu atau dua orang saja) memiliki perhatian yang khusus terhadap (sarana prasarana) pendidikan Papua. Dan perumpamaan yang lain adalah seandainya Papua memiliki sistem pendidikan sendiri yang sesuai dengan lingkungan dan karakter orang Papua. Serta perumpamaan lainya, jelas ribuan bahkan puluhan ribu pelajar dari bangsa yang berpenduduk 1.624.087 (sensus, 2000) lebih ini akan menjadi pelajar terbaik dari berbagai mata pelajaran, terutama cabang-cabang ilmu dasar.

Dengan kata lain, manusia Papua berpotensi untuk menjadi manusia yang cerdas bila dituntun oleh situasi dan kondisi yang baik. Dalam hal ini, negara mempunyai tanggungjawab untuk secara sungguh-sungguh untuk berupaya memajukan pendidikan dengan mencukupi segala kebutuhan yang diperlukan dalam menentukan harkat dan martabat seorang manusia. Selain itu, negara juga menyediakan anggaran yang cukup untuk mencerdaskan bangsa tanpa memilih-milih entah Barat, Tengah, ataupun Timur. Tetapi tidak demikian. Tidak ada cerita dibelahan dunia manapun, negara yang menjajah memberikan fasilitas (sistem) pendidikan yang memadai untuk sebuah bangsa yang dia kuasai.

Kembali ke hakikat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Manusia yang dilahirkan di Papua dengan berrambut keriting dan berkulit hitam dengan yang berrambut panjang dan berkulit coklak (maaf seta bukan buta warna, tidak ada orang berkulit putih, yang ada kertas putih, kain dan awan) di Jawa maupun di Barat sama saja (podowae/enakodo). Punya kodrat yang sama, yaitu ciptaan Allah. Kemudian lingkunganlah yang membuat manusia menjadi berbeda-beda, termasuk status sosial dan yang lain-lainnya. Lingkungan akan membentuk proses pertumbuhan dan perkembangan seorang individu hingga dia menjadi dewasa.
Pada tanggal 17 Agustus 2004 ini Negara Kesatuan Republik Indonesia genap berulang tahun yang ke-59. Ini umur yang cukup tua bagi sebuah negara. Maaf bukan dewasa, karena dewasa itu pilihan. Melalui perubahan keempat yang dilakukan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dunia pendidikan memperoleh hadiah berharga, yakni tercantumnya jumlah anggaran pendidikan sebesar 20% dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945 Ayat 4 pasal 31 itu berbunyi: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional. Bunyi ayat 4 pasal 31 UUD 1945 (setelah perubahan keempat) jelas bahwa pemerintah pusat (melalui APBN) maupun pemerintah daerah, yakni provinsi maupun kota/kabupaten (melaui APBD), memberikan perioritas terhadap anggaran pendidikan minimal sebesar 20 %. Jumlah 20 % itu berdasarkan kebutuhan nyata dibidang pendidikan.

Mecapai cita-cita bangsa ‘mencerdaskan bangsa’ supaya terwujud masyarakat yang adil dan makmur, tidaklah mudah membalik tangan. Termasuk menyediakan anggaran pendidikan 20% baik dari pusat mapun dari daerah. Namun, pikir-pikir semua hal ini berdasarkan kemauan yang besar dan baik pasti akan tercapai. Kamauan yang kuat tetapi juga baik itu sangat diharapkan. Mengapa harus kuat dan baik? Karena, kemauan yang kuat tanpa kemauan yang baik untuk memajukan pendidikan adalah sia-sia. Artinya kemauan kuat kita menetapkan anggaran pendidikan pusat maupun daerah 20% maka dana itu digunakan khusus untuk pendidikan dengan kemauan yang baik. Bukan untuk masuk kantong kaki tangan negara yang mengurusnya.

Kemauan yang baik adalah mau untuk memperhatikan pendidikan mulai dari kurikulumnya sampai sarana dan prasarana, terutama daerah-daerah yang belum menyentuh pendidikan secara serius selama 59 tahun Indonesia merdeka. Kapan!

***
Kembali ke Papua. Berkaitan dengan otonomi khusus, dalam hal pendididikan Papua pemerintah pusat dalam pasal 56 mengatakan demikian” (1) Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. (2) Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan pemerintah provinsi.

Jelas sekali, dengan adanya otonomi khusus pendidikan adalah kewenangan otonom dari Provinsi Papua. kewenangan Pemerintah pusat adalah menetapkan kebijakan umum untuk pendidikan pada tingkat universitas dan kurikulum inti dan standar mutu pada semua jenjang pendidikan. Artinya kurikulum yang dibuat dari pusat hanya sebagai konsep dasar saja. Daerah dapat mengembangkan sesuai dengan lingkungan, karakter dan kebutuhan daerah. Berarti pemerintah pusat tidak lagi membuat peraturan rinci tentang pendidikan di daerah.

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan melalui majalah SELANGKAH tahun 2004

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut