Lulusan SD Pedalaman Papua Buta Huruf

Sabtu, Agustus 25, 2007

Struktur pendidikan dasar di Provinsi Papua kini ambruk. Banyak lulusan sekolah dasar, terutama dari daerah pedalaman, tidak bisa baca tulis alias buta huruf.

Semua itu disebabkan minimnya sarana pendidikan, terutama akibat jumlah guru sangat tidak memadai. Guru yang ditugaskan di pedalaman pada umumnya tidak kerasan karena fasilitas hidupnya sangat minim.

Kompas yang mengambil sampel di sejumlah sekolah dasar (SD) di Kabupaten Timika, Selasa (7/3), menemukan kondisi yang ironis. Di daerah kaya pertambangan dengan pendapatan per kapita Rp 126 juta per tahun ini banyak SD hanya memiliki 2-3 guru.

Jangankan bicara mutu pendidikan atau penyerapan materi pelajaran sesuai dengan kurikulum, guru pun tidak ada sehingga murid-murid sering libur, ungkap Uskup Timika Mgr John Philip Saklil. Keuskupan Timika memiliki 106 SD di delapan kabupaten di Papua. Kedelapan kabupaten itu adalah Mimika, Paniai, Nabire, Puncak Jaya, Serui, Yapen, Supiori, dan Waropen.

Akibat kurangnya tenaga pengajar, ada satu SD yang memiliki satu guru. Kondisi ini makin parah kalau guru-guru itu pergi ke kota untuk kepentingan pribadi. Mereka sering berbulan-bulan tidak pulang ke tempat tugas karena biaya transportasi, terutama pesawat terbang, sangat mahal. Mereka tidak betah karena tidak tersedianya rumah dinas, apalagi di daerah pedalaman tidak ada listrik dan sarana kesehatan serta akses informasi.

Ada juga sekolah yang jumlah gurunya dalam daftar tercatat lima orang, tetapi tidak pernah ada di sekolah. Ketika seorang guru saya tanya, mereka mengatakan tidak tahan tinggal di pedalaman. Padahal, mereka digaji karena pegawai negeri, ujar Uskup John Philip Saklil.

Leo Kotauki, Kepala Suku Pinia-Sukikai, Distrik Mimika Barat, menuturkan, guru SD di wilayahnya juga kurang dan sering tidak hadir. Tempat tinggal Leo jaraknya sehari perjalanan laut dari Timika, ibu kota Kabupaten Mimika.

Karena guru sering pergi mengambil gaji di kota Timika, anak saya tidak sekolah. Anak saya kelas III SD sampai sekarang hanya bisa membaca sepatah dua kata. Dahulu saat saya kelas III SD, saya sudah lancar membaca. Untung sejak Januari 2006 ada dua guru didatangkan dari Sulawesi, kata Leo menambahkan.

Persoalan berbeda terjadi di kota Timika. Kepala SD Inpres Koprapoka I, Marcel Orowipuku, mengeluhkan keterbatasan sekolah yang membuat jumlah murid dalam satu rombongan belajar 60-70 orang. Akibatnya, satu bangku belajar digunakan tiga murid sekaligus.

Di SD itu beberapa kelas yang kelebihan murid juga harus menata sebagian bangku belajar, membelakangi dinding kiri-kanan kelas, sehingga bangku tidak menghadap ke arah papan tulis.

Bergantian
Menurut Marcel, SD yang dia pimpin menggunakan 16 ruang kelas, bergantian dengan SD Inpres Koprapoka II. Jadi bergantian, pagi dan siang. Kadang sekolah saya yang masuk pagi. Minggu ini sekolah saya yang masuk siang. Jumlah siswa SD Inpres Koprapoka I juga lebih dari 1.000 orang, kata Marcel.

Ia menyatakan, jika jumlah rombongan belajar ditambah, jumlah guru tidak akan mencukupi.

Rusaknya struktur pendidikan dasar di daerah paling timur di republik ini dirasakan setelah sekolah pendidikan guru (SPG) dihapus pemerintah. Setelah itu penyediaan tenaga guru di daerah ini, menurut Uskup Timika, turun secara drastis. Sementara itu, kompensasi atas penutupan SPG tersebut, yakni pendidikan guru SD (PGSD), tak jelas kelanjutannya.

Bersamaan dengan itu, subsidi pendidikan dari Pemerintah Belanda yang selama ini diterima provinsi itu dihentikan karena Pemerintah RI dinilai mampu membiayai pendidikan sendiri. Dana yang diteriakkan anggota Dewan terhormat di Jakarta mungkin tinggi. Tetapi, untuk sampai ke sini tidak sebesar itu, ungkap Uskup.

Sekretaris Eksekutif Forum Kerja Sama LSM Papua J Septer Manufandu mengingatkan bahwa bukan hanya para guru yang harus disalahkan dalam kasus buruknya kualitas pendidikan di Papua. Gaji guru sangat kecil. Selain itu, untuk mendapatkan gaji saja mereka harus pergi ke kota. Seharusnya pemerintah membangun sistem yang memungkinkan guru menerima gaji tanpa meninggalkan tugas belajar-mengajar, kata Septer.

Berdasarkan Laporan Akhir Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi dari Conservation International Indonesia, angka buta huruf kawasan pedesaan di Provinsi Papua pada tahun 1996 masih 44,13 persen. Angka buta huruf di perkotaan pada tahun yang sama 3,59 persen.

Tingkat pendidikan di Papua pada tahun 2002 juga masih rendah. Persentase penduduk usia kerja (di atas 15 tahun) yang lulus SD kurang dari 30 persen.
------------------------------
Sumber: Kompas melalui http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp?v_filename=F2757/Lulusan%20SD%20Pedalaman%20Buta%20Huruf.htm

1 komentar:

danasahabat.blogspot.com mengatakan...

HAI KAWAN ,SALAM KENAL MOHON MAAF SEBESAR BESAR NYA YAH,NUMPANG PROMOSI NIH HEHHEHE KALO ADA YANG MAU BELI HAPE HAPE NEW/ SECOND BERKUALITAS DAN BERGARANSI RESMI BISA PESAN DI BLOG INI,DI JAMIN AMAN DAN MURAH KARENA SUDAH TERMASUK ONGKOS KIRIM DAN BIAYA BIAYA PERALATAN KEAMANAN SEHINGGA BARANG LANCAR SAMPAI TUJUAN,CUKUP SMS SAJA MERK HP DAN LANGSUNG DI BALAS RINCIAN HARGANYA UP DATE TERUS TIAP HARI,.UNTUK KEJELASAN NYA BISA KUNJUNGI BLOG KU, ( FASHION88UNIK.BLOGSPOT.COM ), DAN BILA TIDAK ADA TIPE HP YANG DI INGINKAN DI BLOG SAYA,MAKA CUKUP SMS KAN SAJA TIPE DAN MERK HP YANG DI MINTA AKAN SAYA BALAS RINCIAN HARGANYA,WALAU HANYA ORDER SATU ATAU BERAPAPUN HARGANYA TETAP DI KIRIM ,DARI JADUL AMPE KE CANGGIH ADA ,"CHAIRUL SARTO UTOMO " 085859467928 ( ALAMAT LENGKAP ADA DI BLOG DAN TIDAK HANYA HAPE BARANG ELEKTRONIK ATAU APA SAJA BISA !! )

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut